The Tarekat > Ketubuhan Dalam Praktik Tarekat
The Tarekat > Ketubuhan Dalam Praktik Tarekat
Riset Pengalaman oleh M. Safrizal (Dekjall)
Aceh adalah daerah yang terletak di paling ujung barat pulau Sumatera dan dikenal dengan kehidupan masyarakatnya yang agamis. Tentang Aceh daerah yang agamis cukup masuk akal dikarenakan Aceh dikenal dengan julukan Serambi Mekkah. Pada masa dulu ketika sistem transportasi tidak secanggih sekarang, Aceh kerap dijadikan sebagai tempat transit calon jamaah haji sebelum berangkat ke tanah suci Mekkah. Julukan ini seakan menggambarkan sikap religiusitas dari masyarakat Aceh pada umumnya. Dalam praktik sehari-hari, masyarakat Aceh banyak bersumber pada kepercayaan serta keyakinan pada agama atau wacana keagamaan Islam.
Ini diperkuat dengan cerita-cerita orang tua jika struktur rumah Aceh zaman dulu pasti memiliki balee (balai) didepan rumah. Balee sering digunakan untuk kegiatan beribadah, mengaji dan beristirahat. Kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh memang lekat dengan bershalawat dan memuji nama kebesaran yang Kuasa baik saat duduk di balee, maupun ketika sedang mengayunkan anak. Bershalawat paling banyak ditemui ketika seorang perempuan sedang mengandung (hamil).
Fakta lain, Aceh menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang menerapkan hukum syariah. Pemberlakuan hukum syariah di Aceh seakan ingin melegitimasi jika Aceh memiliki karakter religiusitas Islam yang kuat. Kesan ini tentunya juga dapat dilihat jika Islam di Aceh sekarang cenderung berada pada level syariah. Padahal masih sangat banyak kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang mempraktikan keagamaan di level tarekat, bahkan hakikat.
Tarekat merupakan rangkaian dari ilmu tasawuf yang berarti jalan atau metode mendekatkan diri terhadap Yang Maha Kuasa dengan cara menyebut serta memuji nama-nama kebesaranNya. Dalam perspektif lain tarekat juga bisa dimaknai sebagai cara berkomunikasi secara intim dengan sang pencipta. Tarekat merupakan salah satu metode serta jalan yang dilalui oleh para Sufi untuk bertaubat nasuha, menyucikan jiwa, terapi diri, sarana meditatif, mendapatkan hakikatnya ilmu, berkomunikasi dan mendekatkan diri terhadap yang kuasa dengan cara menyebut serta memuji nama-nama kebesaran Allah.
Dzikir atau berdzikir adalah salah satu kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat Aceh baik secara individu maupun berjamaah dengan cara menyebut asma-asma Allah. Secara pengertiannya, dzikir atau berdzikir berarti menyebut, mengucapkan atau memuji nama-nama kebesaran yang kuasa. Biasanya dzikir yang paling sering dijumpai yaitu berdzikir dengan suara yang lantang atau keras seperti sesudah melaksanakan kewajiban beribadah dan tahlilan.
Dikalangan tarekat, dzikir atau berdzikir dibagi kedalam dua cara yaitu, berdzikir dengan suara yang lantang dan berdzikir dengan menggunakan hati tanpa ada suara sedikitpun. Dalam dunia tarekat, berdzikir menggunakan hati tanpa bersuara merupakan salah satu tahapan yang tinggi. Dikarenakan bagi para pemula dilarang terlebih dahulu berdzikir menggunakan hati (tanpa bersuara). Hal tersebut ditakutkan jika hati seseorang belum siap akan mengakibatkan efek negatif yaitu terbakarnya jantung. Begitulah para mursyid (guru tarekat) sering menyebutkannya.
Tarekat sebagai praktik spiritual pada dasarnya sebagian besar terdiri dari praktik ketubuhan. Dari perspektif ini banyak kesenian Aceh yang bersumber dari praktik tarekat seperti kesenian Rapa’I, tari Saman, Seudati, dan lainnya. Akan tetapi praktik-praktik tarekat itu kini secara perlahan terkubur oleh gelombang syariah yang berlaku di Aceh. Tarekat dalam praktik keagamaan pada dasarnya sejalan dengan dunia tari yang meletakkan tubuh pada pusat. Jejak ini memicu fakta bahwa masyarakat Aceh dulu dalam praktiknya dominan melakukan praktik tarekat. Laku tubuh dalam praktik tarekat bukan hanya sekedar metode atau jalan mendekatkan diri kepada yang kuasa, melainkan bagaimana memahami dan terhubung dengan yang Kuasa dan makhluk ciptaanNYA melalui tubuh.
Bagi saya, kegiatan tarekat bukan sebuah ritual melainkan praktik. Ritual dalam anggapan saya, akan dianggap sebagai sesuatu hal yang ekstrim. Bahkan bisa menjadi sangat ekstrim karena akan mengaitkannya dengan kultus tertentu. Sebagai sample jika ingin melihat tarekat dari perspektif ritual. Maka ketika seseorang ingin melakukan suatu ritual, maka tidak boleh satupun unsur yang ada di ritual tersebut dihilangkan atau tidak dilakukan. Ini berbeda jauh dengan kasus praktik tarekat yang saya lakukan. Setiap individu boleh saja melakukan salah satu praktik seperti mandi taubat. Namun praktik ini juga tidak masalah jika tidak ingin dilakukan. Pada konteks inilah menurut saya konotasi ritual kurang tepat digunakan.
Praktik tarekat yang pernah saya jalani adalah praktik tarekat Qadiriyah disalah satu kelompok (jamaah) di Aceh. Saya pertama sekali bertarekat semenjak dari kelas 2 Sekolah Menengah Atas (SMA) sampai dengan sekarang (kurang lebih 12 tahun). Pengikut dari jamaah tersebut bisa dikatakan cukup ramai yaitu kurang lebih 1.000 orang, meliputi perempuan maupun laki-laki dari berbagai daerah dan segala umur. Namun yang hanya melakukan praktik tarekat pada malam Jum’at biasanya sekitaran 70-100 orang dan hanya boleh dilakukan oleh kaum laki-laki saja.
Awal mula praktik tarekat dari jamaah tersebut ditelisik dikarenakan saya melihat jika praktik-praktik yang dilakukan sangat berbeda dengan praktik keagamaan Islam yang pernah ditemui. Dalam praktik ini, saya menerima kesan yang jauh berada diluar batas nalar manusia pada umumnya. Setiap praktik tarekat selalu dilakukan pada malam jum’at setelah shalat isya’ dan berakhir ketika berkumandangnya azan subuh. Lokasi bertarekat bisa dikatakan cukup jauh dari pemukiman warga yaitu sekitar 4-5 Km.
Posisi berdzikir dilakukan dengan cara kepala menunduk sambil angguk-angguk, ada yang geleng-geleng, berdiri, duduk, dan ada yang bersila dengan mulut komat-kamit (menyebut asma-asma Allah). Posisi berdzikir sering dilakukan dengan cara tidak lumrah, seperti dengan posisi berdiri dan meloncat-loncat seperti orang sedang menonton konser rock. Ada pula gerakan seperti orang yang sedang mengalami kerasukan namun tetap tidak menghilangkan anggukan dan gelengan kepala. Hal ini dilakukan dalam durasi waktu yang lama bahkan sampai semalam suntuk.
Dampak berdzikir seperti ini bukan saja memberikan kesegaran bagi tubuh, namun memberikan ketenangan jiwa serta menghidupkan energi spiritual, walaupun diawali dengan rasa lelah yang luar biasa di tubuh. Saya beranggapan bahwasanya tubuh selain membutuhkan suplai amunisi untuk raga, tubuh juga membutuhkan suplai amunisi untuk jiwanya. Keseimbangan inilah yang diperlukan oleh setiap individu sehingga tidak ada ketimpangan antara jiwa dan raga.
Beberapa praktik tarekat lainnya yang pernah saya jalani yaitu berpuasa, mandi taubat, sujud di tanah, berjalan keliling membentuk pola angka 8 dan lingkaran, memotong-motong batang pohon talas, berziarah ke makam-makam ulama, dan bersilat.
Praktik tarekat yang paling unik adalah berdzikir menyendiri (khalwah), atau dalam istilah orang Aceh sering disebut dengan kata ‘khalut atau sulok’ yang berarti menyendiri secara terasing dengan kondisi gelap. Dalam pengalaman saya, berdzikir seperti ini dapat meningkatkan daya kenyamanan dan kedamaian tersendiri yang kemudian dipahami sebagai proses berkomunikasi dengan Sang Pencipta secara intim. Menurut mursyid, “dengan cara ‘khalut/sulok’ mampu menghadirkan kekhusyukan (super fokus) dalam hati saat berdzikir serta dapat merasakan kedekatan makhluk dengan Tuhannya.
Saya meyakini jika praktik khalut/suluk merupakan praktik meditatif dalam aliran tarekat. Tidak asing melihat seseorang sampai dan masuk pada momen mengalami keheningan. Bahkan saya menduga pada saat momen puncak keheningan dirasakan, seseorang akan berada pada frekuensi 4-8 Hz (Theta).
Dari sejumlah praktik tarekat yang pernah dilakukan, ada satu praktik yang sangat ditakuti yaitu, para jamaah harus berdzikir diruang menyerupai lubang kuburan ‘dzikir uruk’ (berdzikir dalam lubang) dengan kedalaman 1 Meter dan berukuran 1,5x1,5 Meter. Ketika praktik tersebut dilakukan sangat banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak masuk akal, misalnya digigit oleh banyak semut, paha dililit ular, badan terasa panas, dingin bahkan ada yang menangis disaat proses praktik tersebut berlangsung. Padahal sebelum masuk ke dalam lubang kuburan, saya dan para jamaah selalu menyenteri apakah ada sesuatu seperti binatang atau tidak didalamnya. Praktik dzikir uruk sebenarnya dilakukan agar para jamaah dapat mengingat dan merasakan bagaimana berada di alam kubur tanpa ada yang menemani selain amal ibadah.
Setelah rangkaian praktik individu selesai dilakukan, kemudian mursyid mengarahkan para jamaah untuk berdzikir menggunakan Rapa’I (alat musik tardisional Aceh). Mursyid membaginya kedalam 4 kelompok yang ditandai dengan warna teungkulok (sejenis sorban) yaitu kuning (api), hitam (tanah), putih (angin) dan hijau (air). Dzikir Rapa’I ini biasanya berlangsung selama 1-2 jam menjelang azan subuh berkumandang.
Selain melakukan praktik tarekat, saya biasanya beristirahat sejenak ketika badan sudah sangat capek dan lelah. Bahkan saya pernah ketiduran disela-sela orang berdzikir dengan suara yang lantang. Suara orang berdzikir seakan menjadi musik pengantar tidur pada saat itu. Namun juga menjadi tidak ayal saat saya sering ketawa sendiri ketika memperhatikan jamaah bertarekat. Saya melihat, pada saat bertarekat rasa malu tidak menjadi pertimbangan. Berbagai ekspresi wajah terlihat dengan jelas betapa jujurnya ketika ekspresi muncul walaupun orang lain yang melihatnya terasa lucu dan ketawa.
Pada konteks yang lainnya para jamaah pernah diberikan PR oleh mursyid untuk tidak berbicara selama 44 hari. Pada awalnya praktik ini sangat berat untuk dilakukan, dikarenakan begitu sulitnya berkomunikasi tanpa harus berbicara. Jadi selama 44 hari berlangsung, bentuk komunikasi yang dilakukan menggunakan catatan tulisan yang kemudian diberikan kepada lawan bicara. Menurut mursyid “praktik ini dilakukan guna kita manusia mengurangi berbicara hal-hal yang tidak penting. Dikarenakan sebagian dari dosa kecil terjadi akibat seseorang yang tidak sanggup menjaga lidah dan lisannya. Disamping itu praktik ini untuk mengurangi pembicaraan untuk orang lain (ghibah) sehingga mengurangi terjadinya fitnah.
PR yang lainnya yaitu ketika kami melakukan praktik tarekat di samping pantai dengan tubuh ditanami pasir laut dari kaki hingga leher. Pada momen ini, timbul perasaan kenikmatan bagaimana tubuh dihempaskan ombak laut. Anehnya, tubuh tidak terasa dingin ataupun menggigil, padahal praktik ini dilakukan pada pukul 12 malam. Saat itu, memori seakan kembali dengan peristiwa Tsunami yang pernah menimpa Aceh.
Konteks menarik lainnya dari bahasan tarekat adanya suatu hadiah yang sebenarnya bukan menjadi patron dalam bertarekat, yaitu qasyaf. Secara definisi umum, qasyaf adalah terbukanya mata batin seseorang secara permanen sehingga dapat melihat kondisi dan peristiwa masa yang akan datang. Namun sangat sulit untuk mendapatkan qasyaf. Qasyaf seringkali hadir ketika seseorang tidak mengharapkannya. Pada perihal qasyaf, saya mengalami rasa penasaran dan bertanya-tanya pada diri sendiri, “apakah orang-orang sufi melihat masa depan itu pada layar seperti di film-film, atau dengan melihat ke atas langit”. Namun tentunya itu hanya kekonyolan rasa penasaran saya semata.
Walaupun perkembangan teknologi sudah sangat pesat saat ini, namun pada nyatanya masih sangat banyak keterangan mengenai mekanisme praktik yang belum ditemukan. Jikapun ada, namun tetap belum bisa memuaskan bagi yang terbiasa dalam uraian eksak ilmiah (Sutanto, Jusuf, 2013:83). Dari sekian pengalaman praktik tarekat yang pernah saya jalani, sebenarnya masih ada beberapa praktik tarekat yang sangat sulit saya tuangkan atau jelaskan secara detail dalam tulisan ini. Masih ada keterbatasan pengetahuan saya terhadap esensi maksud dan tujuan dari praktik sufistik tersebut.
Jika ditilik lebih lanjut, praktik tarekat merupakan salah satu media pengobatan atau media penyembuhan dari luka rohaniah. Bahkan pada saat pandemi terjadi, saya menganggap virus Covid-19 sebagai makhluk yang dimiliki dan diciptakan oleh yang Kuasa. Segala sesuatu yang terjadi di muka bumi dalam skala besar maupun kecil, semua atas kehendak dari Yang Maha Kuasa.
Dalam riset ini, saya juga banyak mengamati dan mengulik laku tubuh sehari-hari masyarakat Aceh seperti cara berjalan, duduk, makan, minum, bersikap, dan attitude. Dominasi masyarakat Aceh berjalan cepat seperti jalan orang ketika ingin bertarekat. Namun di budaya ngopi orang Aceh, saya melihat jika warung kopi yang dominasinya orang tua yang umurnya 45 ke atas, duduk sembari mengobrol badannya bergerak ke kiri, kanan, depan dan belakang. Pergerakan ini sangat mirip dengan pergerakan orang ketika sedang berdzikir. Saya menduga jika praktik ketubuhan tarekat sebenarnya hadir di tengah-tengah laku kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh tanpa disadari.
Bagi saya, praktik tarekat merupakan praktik yang sangat koreografis. Dengan berlatar belakang sebagai penari dan koreografer, saya mencoba melacak kesamaan antara keduanya. Praktik koreografis dan praktik tarekat memiliki subjek dan objek, sama-sama mempunya pola, baik pola gerak maupun polan lantai. Mempunyai tubuh, tempo, dinamika, grafik, durasi, rasa, musik dan aspek-aspek performatif. Hanya saja perbedaan yang signifikannya antara keduanya yaitu berada pada ‘tujuan’. Untuk saya, bertarekat bertujuan untuk mendekatkan diri kepada yang Kuasa, sedangkan penjelajahan koreografi merupakan praktik reflektif saya atas pengalaman tubuh selama bertarekat.
Selain dari pengalaman personal, perihal paling mendasar atas lahirnya riset ini adalah praktik tarekat yang saya lakukan merupakan praktik yang sudah hilang atau tidak pernah dilakukan lagi oleh masyarakat Aceh selama 50 tahun. Saya menduga jika praktik tersebut hilang pada saat konflik DI/TII dan konflik GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan RI (Republik Indonesia).
Nyatanya, ketika perang melawan penjajah Belanda dulu, salah satu ulama Aceh Teungku Chiek Tanoeh Abee pernah menerapkan praktik menebas-nebas batang pohon talas dan Belanda meninggal di Lambaroe Kafee (salah satu daerah yang ada di Aceh). Cerita tersebut tidak asing di telinga masyarakat Aceh hingga saat ini. Banyak praktik tarekat dilakukan untuk membunuh tanpa menyentuh pada zaman penjajahan dulu.
Apalagi saya merasakan kondisi pola pikir masyarakat sekarang menganggap praktik tarekat adalah praktik yang sangat tabu, aneh, dan bahkan ada yang menganggapnya sebagai kesesatan dalam praktik beragama Islam. Melihat dari kasus lainnya, sangat disayangkan ketika salah satu praktik tarekat yaitu berdzikir seakan sudah menjadi panggung perpolitikan bagi penguasa. Bisa dilihat dari fenomena ketika pilkada mau dilaksanakan, hampir di seluruh daerah melaksanakan dzikir akbar yang notabennya dilaksanakan oleh parpol.
Ditambah dengan fenomena dunia sekarang, agama sangat mudah untuk diperjual belikan seperti barang, sehingga munculnya phobia antar umat beragama. Jika orang Aceh menyebutkannya “Yum Agama Lage Yum Kerupuk” (Harga Agama Sama Seperti Harga Kerupuk Di Zaman Sekarang Ini). Konflik agama kerap terjadi tidak hanya di Indonesia bahkan di Myanmar, India, Pakistan, Israel, Palestina dan di dunia Barat sekalipun.
Melalui pengamatan, refleksi, serta pengalaman ketubuhan dalam berpraktik tarekat, saya kemudian mencoba untuk meramunya dalam bingkaian artistik. Saya meyakini jika praktik tarekat menjadi tawaran sudut pandang lebih luas yang bisa diperbincangkan, terutama persoalan tubuh.
Kerja studio dalam riset ini pertama sekali dimulai pada tahun 2019. Saat itu saya tertarik mencari keseimbangan tubuh dengan cara berdiri dan mengangkat satu kaki dalam durasi tertentu. Ketika saya merasa tidak seimbang, saya mengangkat satu tangan untuk mencapai keseimbangan yang saya inginkan. Setelah melakukan eksplorasi tersebut saya menemukan bahwa semakin saya mencari keseimbangan, semakin saya merasa tidak seimbang.
Melalui temuan tersebut, saya kembali bereksplorasi pada tahapan mencari korelasi antara pola pergerakan praktik tarekat dengan tari tradisi Aceh. Saya mencoba memperdalam simbol dan esensi dari pola gerak keduanya. Pelacakan saya juga bermuara pada kebiasaan tari-tari tradisi Aceh yang umumnya bertempo lambat, sedang, cepat dan diam. Tempo tersebut kemudian di obrak-abrik guna menemukan formula yang tepat pada grafik karya Body Tarekat, baik grafik bagian perbagian karya maupun grafik secara utuh pertunjukkan karyanya.
Pembacaan mendalam relasi gerak pada praktik ketubuhan tarekat, gerak tari Rapa’I Geleng, tari saman, dan tubuh kultur Aceh, akhirnya saya menemukan satu pola metode bergerak yaitu “membumi”. Saya memberikan nama metode bergerak tersebut atas dasar perilaku metodenya yaitu, berdiri di satu titik dengan menekankan tubuh dari atas ke bawah. Secara sekilas “membumi” sangat mirip dengan tubuh yang sedang bergetar. Namun pada metode bergerak membumi, saya memusatkan tumpuan di bagian telapak kaki, dengan bantuan naik turunnya dada dan lutut.
Bahu, tulang leher bagian belakang, dada, torso belakang dan perut merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dari “membumi”, sehingga keseimbangan dalam intensitas gerak yang lama dan stabil membuat tubuh tidak mudah kelelahan serta dapat lebih teratur mengelola pola pernafasan. Pada hakikatnya laku tubuh mulai dari kepala hingga kaki bergerak mengikuti ritme nafas dan naik turunnya tubuh, serta posisi tubuh dalam keadaan yang dilemaskan (tidak mengunci torso, otot, dan sendi engsel).
Kebanyakan dari energi “membumi” berpusat di ubun-ubun dan sebagian lainnya terletak di dada, dan kemudian dihempaskan seiring kondisi tubuh ditekan ke bawah. Pada pengalaman ini, gelombang energi akan terasa di paling ujung jari-jari tangan. Tahapan yang lebih mendalam (super fokus), kita dapat merasakan bunyi dari otot leher belakang serta sentuhan gigi bagian atas dan bawah.
Dalam perjalanan penelusuran riset yang sudah 5 tahun berjalan membuat saya semakin sadar, jika semua yang ada di dunia ini hidup dan terhubung melalui getaran energi atau gelombang energi. Sejatinya tubuh manusia juga saling terhubung dengan getaran tersebut. Terhubung dengan tumbuhan, hewan dan alam semesta. Untuk saya, akhirnya laku agamis ini sebenarnya juga laku yang spiritual. Eksplorasi-eksplorasi yang saya lakukan tidak hanya sebatas untuk lahirnya sebuah karya melainkan eksplorasi tersebut telah menjadi laku spiritual bagi saya. Body Tarekat adalah laku spiritual saya dalam memahami tubuh, mengarsipkan tubuh dan melacak desain tubuh kultur Aceh.